2.1 ikan gabus ( channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. bab ii.pdf · esherichia, shigella,...

22
4 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Gabus ( Channa striata ) Ikan gabus adalah sejenis ikan predator yang hidup di air tawar dan ikan asli perairan Indonesia. Dalam bahasa Inggris ikan ini disebut dengan berbagai nama seperti common snakehead, snakehead murrel, chevron snakehead, striped snakehead dan juga aruan. Dan beberapa daerah di Indonesia Ikan gabus dikenal dengan banyak nama, ada yang menyebutnya sebagai ikan bocek (Riau), haruan (Kalimantan), kocolan (Betawi), kutuk (Jawa), bale salo (Bugis), kanjilo (Makassar), gastor (Sentani, Papua) dan lain-lain (Asfar, 2012). Klasifikasi ikan gabus menurut Rahayu, dkk (1992) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Actinopterygii Ordo : Perciformis Family : Channidae Genus : Channa Spesies : Channa striata Gambar 2.1 Ikan Gabus (Channa striata) (Sista, 2014) Ikan gabus disebut snakehead atau ikan kepala ular karena memiliki kepala besar dan agak gepeng, mulut besar dengan gigi-gigi besar dan tajam serta memiliki sisik besar diatas kepalanya. Tubuhnya berbentuk bulat gilig memanjang,

Upload: others

Post on 25-Oct-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

4

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Gabus ( Channa striata )

Ikan gabus adalah sejenis ikan predator yang hidup di air tawar dan ikan asli

perairan Indonesia. Dalam bahasa Inggris ikan ini disebut dengan berbagai nama

seperti common snakehead, snakehead murrel, chevron snakehead, striped

snakehead dan juga aruan. Dan beberapa daerah di Indonesia Ikan gabus dikenal

dengan banyak nama, ada yang menyebutnya sebagai ikan bocek (Riau), haruan

(Kalimantan), kocolan (Betawi), kutuk (Jawa), bale salo (Bugis), kanjilo

(Makassar), gastor (Sentani, Papua) dan lain-lain (Asfar, 2012).

Klasifikasi ikan gabus menurut Rahayu, dkk (1992) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Actinopterygii

Ordo : Perciformis

Family : Channidae

Genus : Channa

Spesies : Channa striata

Gambar 2.1 Ikan Gabus (Channa striata) (Sista, 2014)

Ikan gabus disebut snakehead atau ikan kepala ular karena memiliki kepala

besar dan agak gepeng, mulut besar dengan gigi-gigi besar dan tajam serta

memiliki sisik besar diatas kepalanya. Tubuhnya berbentuk bulat gilig memanjang,

Page 2: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

5

seperti peluru kendali. Sirip punggung memanjang dan sirip ekor membulat di

ujungnya. Sisi atas tubuh dari kepala hingga ekor berwarna gelap, hitam

kecoklatan atau kehijauan. Sisi bawah tubuh berwarna putih, mulai dari dagu

sampai ke belakang. Sisi samping bercoret-coret tebal (striata, bercoret-coret)

yang agak kabur. Warna ini sering kali menyerupai lingkungan disekitarnya

(Ardianto, 2015).

Ikan gabus (Channa striata) merupakan jenis ikan yang bernilai ekonomi

tinggi. Di Indonesia penyebarannya antara lain di Sumatera, Jawa, Kalimantan,

Sulawesi, dan Papua. Ikan gabus umumnya didapati pada perairan dangkal

seperti sungai dan rawa dengan kedalaman 40 cm dan cenderung memilih tempat

yang gelap, berlumpur, berarus tenang, ataupun wilayah bebatuan untuk

bersembunyi. Selain itu, spesies ini juga ditemui di danau serta saluran-saluran air

hingga ke sawah-sawah. Listyanto dan Septyan (2009) menyatakan bahwa ikan

gabus termasuk salah satu jenis ikan air tawar yang mempunyai penyebaran yang

luas, dan secara alami dapat hidup di danau, sungai, rawa air tawar, dan sawah.

Sedangkan menurut Muflikhah (2007) benih ikan gabus banyak ditemukan di

daerah perairan yang banyak rerumputan atau tanaman air dan belukar yang

terendam air.

Ikan gabus mengandung senyawa-senyawa penting yang berguna bagi tubuh,

salah satunya adalah protein. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Carvallo

(1998), kadar protein pada ikan gabus lebih tinggi dibandingkan dengan ikan

bandeng atau ikan mas, yaitu mencapai 25,5 % dalam satu individu ikan. Ikan

gabus mengandung tiga jenis protein, diantaranya protein miofibril, sarkoplasma,

dan stroma. Protein sarkoplasma mengandung protein albumin, mioalbumin,

mioprotein, globulin-X, dan miostromin. Protein albumin banyak dimanfaatkan

dalam bidang kesehatan karena dapat digunakan sebagai antioksidan, senyawa

proteksi hati serta berpengaruh pada proses penyembuhan luka seperti pada

pasien pasca operasi bedah (Santoso, 2009). Menurut Sediaoetomo (2004) ikan

gabus memiliki komposisi nutrisi sebagai berikut:

Page 3: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

6

Tabel 2.1 Komposisi nutrisi ikan gabus (Channa striata)

Komponen Kimia Kategori

Ikan Gabus segar Ikan Gabus kering

Protein (g) 25,2 58,0

Lemak (g) 1,7 4,0

Besi (mg) 0,9 0,7

Kalsium (mg) 62 15

Fosfor (mg) 176 100

Vitamin A (SI) 150 100

Vitamin B (mg) 0,04 0,10

Air (%) 69 24

Sumber: Sediaoetomo (2004)

2.2 Mikroba Kontaminan Ikan Gabus

Tingginya kandungan nutrisi pada ikan Gabus menyebabkan tumbuhnya

mikroba pembusuk dan patogen (Jarvie, 2015). Bakteri pembusuk adalah mikroba

yang menguraikan komponen-komponen nutrisi pada bahan menjadi senyawa

hasil samping yang dapat mengurangi fungsi bahan menjadi senyawa hasil

samping yang dapat mengurangi fungsi bahan pangan dan merusak organoleptik,

sedangkan bakteri patogen adalah bakteri yang bersifat toksik bila dikonsumsi oleh

manusia, sehingga dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian (Jarvie 2015).

Adapun mikroba cemaran yang banyak pada bahan pangan termasuk ikan adalah

koliform, E.coli dan S.aureus (Tavakoli et al., 2012).

2.2.1 Bakteri Aerob

Bakteri aerob merupakan jenis bakteri yang banyak ditemukan pada

makanan. Bakteri aerob adalah mikroorganisme yang melakukan metabolisme

Page 4: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

7

dengan bantuan oksigen (Anneheira, 2010). Berdasarkan identifikasi bakteri

dengan pewarnaan Gram, maka didapatkan bakteri Gram positif dan Gram negatif.

Bakteri yang termasuk dalam Gram positif yaitu genus Staphylococcus,

Streptococcus, dan lain-lain dan bakteri yang termasuk dalam Gram negatif yaitu

famili Pseudomonadaceae (genus Pseudomonas), Enterobacteriaceae (genus

Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain).

(Brooks dkk, 2005).

2.2.2 Bakteri Koliform

Bakteri Koliform merupakan kelompok bakteri Gram negatif yang berbentuk

batang, tidak membentuk spora, dan memiliki metabolisme aerob dan anaerob

fakultatif. Koliform sendiri dapat memfermentasi laktosa untuk memproduksi asam

dan gas dalam waktu 48 jam pada suhu inkubasi 35˚C (32 ˚C- 37 ˚C) (DFS, 2007).

Bakteri koliform merupakan golongan bakteri intestinal, yaitu hidup didalam

saluran pencernaan manusia. Sumber energi untuk pertumbuhan bakteri koliform

berasal dari oksidasi (sumber senyawa organik) oleh karena itu koliform termasuk

bakteri heterotrof (Sirindon 2008).

Bakteri koliform adalah bakteri indikator keberadaan bakteri patogenik lain,

lebih tepatnya, bakteri koliform fekal adalah bakteri indikator adanya pencemaran

bakteri patogen, dikarenakan jumlah kenaikan atau penurunan koloni koliform

fecal pasti berkorelasi positif dengan keberadaan bakteri patogen (Treyens, 2009).

Selain itu, mendeteksi koliform jauh lebih murah, cepat, dan sederhana daripada

mendeteksi bakteri patogenik lain. Contoh bakteri coliform adalah, Escherichia coli

dan Enterobacter aerogenes (Widyastika, 2008).

Gambar 2.2 Koliform (Ismail, 2015)

Page 5: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

8

Keberadaan bakteri koliform feses dalam lingkungan air menunjukkan bahwa

air telah terkontaminasi dengan feses manusia atau hewan berdarah panas yang

mengandung bakteri atau virus patogen (Yuniarti, 2014) . Sebagian besar

patogen-patogen saluran pencernaan penyebab berbagai wabah penyakit enterik

tersebut, tergolong famili Enterobacteriaceae (Yuniarti, 2014). Di antara banyak

mikroorganisme asal feses yang menyebabkan wabah penyakit dari tular air

adalah Salmonella typhi (demam tifus), Shigella spp. (shigellosis), Salmonella

paratyphi (salmonellosis), Vibrio cholerae (kolera), Camphylobacter jejuni

(disentri) dan Escherechia coli patogenik (diare) (Yuniarti, 2014) . Selain itu adalah

virus seperti virus hepatitis A (infeksi hepatitis), virus polio (poliomelitus), dan

protozoa seperti Entamoeba histilotyca (disentri amuba) dan Giardia (Yuniarti,

2014).

2.2.3 E. coli

E. coli pertama kali diidentifikasi oleh dokter hewan Jerman, Theodor

Escherich dalam studinya mengenai sistem pencernaan pada bayi hewan (Jawetz

dkk, 2008). Pada 1885, beliau menggambarkan organisme ini sebagai komunitas

bakteri coli. Nama “Bacterium Coli” sering digunakan sampai pada tahun 1991.

Ketika Castellani dan Chalames menemukan genus Escherichia dan menyusun

tipe spesies E. coli (Jawetz dkk, 2008).

E. coli merupakan golongan bakteri mesofilik yaitu bakteri yang suhu 4°C

pertumbuhan optimumnya 10°C-45°C dan dapat hidup pada pH 4 maksimum 9.

E. coli akan tumbuh secara optimal pada suhu 37° C dan pH optimum untuk

pertumbuhan yaitu 7-7,5 (Faridz, 2012) . Nilai aW (kadar air) minimum

pertumbuhan E. coli adalah 0,95 (Desmarchelier dan Fegan, 2003). Gambar 2.3.

menunjukan bakteri E. coli merupakan merupakan bakteri Gram negative

(menghasilkan warna pink pada pewarnaan Gram), bentuk batang, dan memilki

ukuran sekitar 10 mikro, bergerak, tidak berspora, positif pada tes indol, glukosa,

laktosa, sukrosa (Greenwood et al., 2007). Dinding sel bakteri gram negatif

tersusun atas membran luar, peptidoglikan tipis dan membran dalam (Purwoko,

2007). Membran luarnya terdiri dari lipid, liposakarida dan protein (Purwoko,

2007). Peptidoglikan berfungsi mencegah sel lisis, menyebabkan sel kaku dan

memberi bentuk kepada sel (Purwoko, 2007).

Page 6: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

9

Gambar 2.3 E.coli (perbesaran 1000x)

Sumber: http://www.bacteriainphotos.com (2017)

E. coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran pencernaan

meningkat di dalam atau berada di luar usus dehidrasi (Nicklasson et al., 2010).

E. coli berasosiasi dengan enteropatogenik menghasilkan enterotoksin pada sel

epitel, E. coli tipe tersebut adalah tipe Enterotoxigenic E. coli, dan dapat

menyebabkan terjadinya ekskresi cairan elektrolit tubuh sehingga timbul diare

dengan dehidrasi (Nicklasson et al., 2010). E. coli juga memiliki tipe lain yang bisa

menyebabkan sindrom penyakit, yaitu sindrom hemitik-uremik yang disebabkan

oleh Shiga-toxin – producing E. coli (Rasko et al., 2011).

Selain diare dan sindrom penyakit, E. coli juga dapat menyebabkan iInfeksi

saluran kemih. Kasus ini sering ditemukan pada wanita dibandingkan pria , hal ini

dikarenakan jarak antara anus dan vagina lebih dekat sehingga E. coli dapat

dengan mudah berpindah dari saluran pencernaan ke uretra wanita dibandingkan

dengan pria (Tanagho et al., 2008). Pada bayi sesaat setelah lahir, E. coli langsung

berkoloni di saluran pencernaan neonatus dan akan tetap tumbuh disana untuk

melakukan hubungan mutualisme dengan manusia. Bakteri ini sebenarnya adalah

bakteri komensal, namun terdapat bukti bahwa jenis patogen bakteri ini

merupakan perubahan atau transformasi dari jenis komensal. Namun bukan hanya

E. coli patogen saja yang dapat menyerang manusia, jenis nonpatogen juga bisa

menjadi patogen dan dapat merusak mukosa saluran pencernaan manusia (Migla

et al., 2013).

Page 7: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

10

2.2.4 S. aureus

Gambar 2.4. S. aureus (perbesaran 1000x)

Sumber: http://www.bacteriainphotos.com (2017)

Gambar 2.4 menunjukkan S. aureus pada perbesaran 1000 x merupakan

bakteri Gram positif (menghasilkan warna biru-violet pada pengujian Gram)

berbentuk bulat berdiameter sekitar 0,5 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok

yang tidak teratur seperti buah anggur, tidak berflagel, tidak membentuk spora,

dan tidak bergerak (nonmotil). Bakteri ini bersifat fakultatif anaerob dan tumbuh

pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar

(20-25 ºC). Koloni berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar,

halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus

yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam

virulensi bakteri. Berbagai derajat hemolisis disebabkan oleh S. aureus dan

kadang-kadang oleh spesies stafilokokus lainnya (Jawetz dkk., 2008).

Penanganan makanan yang kurang tepat dapat menyebabkan makanan

terkontaminasi bakteri S. aureus. Enterotoxin yang dihasilkan oleh bakteri ini

menyebabkan terjadinya gastroenteritis setelah mengkonsumsi ikan serta produk-

produk daging lainnya (Hadiyanto, 2011). Penelitian terdahulu menunjukkan

bahwa pada kasus-kasus keracunan sering kali disebabkan karena adanya

kontaminasi bakteri S. aureus pada produk yang telah mengalami pengolahan,

seperti produk yang telah melalui proses pengeringan dan pengasapan (Novotny

et al., 2004).

Jumlah toksin stapilokokus yang dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0

μg/gr makanan (USDA, 2001). Gejala keracunan ditandai oleh rasa mual, muntah-

muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam . Sindroma syok toksik (SST)

Page 8: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

11

pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba dengan gejala demam tinggi,

muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan gagal jantung dan ginjal pada

kasus yang berat (Jawetz dkk, 2008). SST sering terjadi dalam lima hari permulaan

haid pada wanita muda yang menggunakan tampon, atau pada anak-anak dan

pria dengan luka yang terinfeksi stafilokokus. S. aureus dapat diisolasi dari vagina,

tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan dalam aliran

darah (Jawetz dkk, 2008).

2.3 Iradiasi pada Bidang Pangan

Iradiasi adalah istilah yang digunakan untuk penggunaan energi pada bahan

dengan menggunakan sumber radiasi buatan secara sengaja dan terarah

(Dwiloka, 2002). Menurut Surindro (2013 berdasarkan spectrum

elektromagnetiknya, radiasi dibedakan menjadi dua macam, yaitu radiasi radiasi

pegion dan radiasi non pengion. radiasi pengion merupakan radiasi menggunakan

panjang gelombang pendek atau frekuensi tinggi yang dihasilkan dari peluruhan

inti atom yang tidak stabil menjadi atom yang stabil dengan iradiasi (Surindro,

2013). Contoh dari radiasi ini adalah sinar-α, sinar-β, sinar-γ dan sinar-x dengan

daya tembus yang berbeda-beda, dimana urutan daya tembus dari yang paling

rendah ke tinggi adalah sinar-α, sinar-β, dan sinar-γ yang dijelaskan pada Gambar

2.3 (Surindro, 2013). Sedangkan radiasi non-pengion merupakan radiasi yang

menggunakan gelombang panjang atau frekuensi rendah sehingga tidak

menimbulkan ionisasi pada materi yang dikenai , contoh dari radiasi ini adalah

inframerah, sinar ultraviolet, sinar tampak, dan gelombang mikro (Surindro, 2013).

Salah satu penggunaan tenaga nuklir yang telah lama dikembangkan dalam

bidang teknologi pangan ialah teknologi proses iradiasi yang menggunakan radiasi

pengion yang berenergi tinggi (BPOM, 2006). Sifat-sifat sinar-X, sinar gamma atau

sinar elektron yang digunakan dalam proses ini memiliki daya tembus yang besar,

serta tidak menimbulkan perubahan suhu dan kenampakan bahan yang diiradiasi

(BPOM, 2006).

Page 9: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

12

Gambar 2.5. Perbedaan daya tembus sinar-α, sinar-β, dan sinar-γ

Sumber: www.batan.go.id (2010)

Iradiasi pangan adalah proses pemaparan bahan pangan dengan energi

ionisasi yang berasal dari sumber radioaktif seperti misalnya kobalt 60 (Co-60)

atau dengan berkas elektron berenergi tinggi maupun X-ray (Nugroho, 2016).

Menurut (BPOM, 2013) Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap

pangan baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk

mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan pangan serta membebaskan

dari jasad renik patogen serta mencegah pertumbuhan tunas. Hasil akhir dari

proses ini adalah adanya eliminasi bakteri, produk tidak radioaktif,

mempertahankan nutrisi, namun tidak mengalami perubahan rasa, tekstur dan

penampakan dari bahan pangan (FDA, 2016). Iradiasi juga dapat memperpanjang

masa simpan dari produk segar karena memiliki kemampuan untu mengeliminasi

bakteri pembusuk dan patogen (Sedeh et al., 2007).

2.3.1 Mekanisme Kerja Iradiasi

Pada prinsipnya proses iradiasi pada bahan pangan dilakukan dengan

menggunakan radiasi energi tinggi yang dikenal dengan radiasi pengion karena

dapat menyebabkan ionisasi pada bahan pangan yang diberi paparan radiasi

(sinar-x, sinar gamma atau berkas elektron) (Maha, 1982). Tindakan radiasi pada

organisme dapat memberikan dua efek yaitu efek langsung dan efek tidak

langsung (Adams and Moss, 2008). Efek langsung terjadi akibat adanya tumbukan

Page 10: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

13

langsung energi radiasi atau elektron dalam mikroba yang menyebabkan

terputusnya ikatan rantai pada DNA dan mempengaruhi kemampuan sel untuk

bereproduksi dan bertahan (Adams and Moss, 2008). Efek tidak langsung terjadi

apabila radiasi mengenai molekul air yang merupakan komponen utama dalam sel

sehingga terjadi proses radiolisis pada molekul air dan terbentuk radikal bebas

(Adams and Moss, 2008).

Efek langsung terjadi akibat adanya tumbukan (interaksi) langsung energi

radiasi atau elektron dengan organisme. Beberapa perubahan sifat fisika-kimia

yang terjadi akibat iradiasi yang pertama adalah pemutusan rantai gula pospat dari

masing-masing stran polinukleotid dari DNA, disebut dengan single break. Kedua

adalah pemutusan rantai yang berdekatan pada kedua stran polinukleotid dari

DNA disebut dengan double break. Ketiga adalah terbentuknya intramolecular

crosslink/ intermolecular crosslink yang disebut dengan base damage (Darwis,

2006). Apabila di dalam sel hidup bahan mengalami perubahan kimia, maka

sintesis DNA akan terhambat yang menyebabkan proses pembelahan sel atau

kehidupan normal dalam sel akan terganggu dan terjadi efek biologis (Pradana,

2013).

Secara acak poton energi iradiasi atau elektron akan menyerang materi

genetik pada sel dan menyebabkan kerusakan DNA mikroorganisme (Molins,

2001). Kerusakan tersebut dapat berupa pemutusan rantai single strand DNA ,

maupun merusak double strand dari DNA tersebut (Molins, 2001). Kerusakan

single strand dapat menyebabkan mikroorganisme menjadi tidak mati (non lethal)

tetapi mengalami mutasi, namun kerusakan strand dalam jumlah besar akan

melebihi kapasitas bakteri dalam memperbaikinya, sehingga dapat menyebabkan

kematian pada sel bakteri (Molins, 2001). Kerusakan double strand akan

menyebabkan mikroorganisme mengalami kematian, dan frekuensi kerusakan

double strand lebih sering terjadi, sehingga pengaruh inilah yang dimanfaatkan

sebagai dasar dalam mengawetkan bahan pangan dengan iradiasi (Molins, 2001).

Mekanisme efek iradiasi secara langsung dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Page 11: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

14

Gambar 2.6. Efek Langsung Iradiasi terhadap Kerusakan DNA

Sumber : http://www.france-hadron.fr (2015)

Iradiasi juga memberikan efek tidak langsung dalam pengawetan makanan.

Ketika bahan pangan yang memiliki kandungan air tinggi dipapar oleh sinar

gamma, maka radiasi tersebut akan memecah ikatan yang terdapat pada molekul

air sehingga terbentuk elektron bebas dan molekul air yang terionisasi (H2O+)

(Ikmalia, 2008). Elektron bebas yang dihasilkan pada interaksi pertama akan

berinteraksi dengan molekul air lainnya dan menghasilkan beberapa macam

produk, diantaranya H+

, OH-

, H dan OH (Ikmalia, 2008). Elektron yang

terbentuk bersifat reaktif sehingga sangat mudah bereaksi dengan molekul

lainnya. Ion-ion reaktif yang dihasilkan oleh bahan pangan yang diiradiasi dapat

membunuh mikroba dengan mengubah struktur membran sel serta

mempengaruhi aktivitas metabolisme enzim (Pillai dan Leena, 2012).

Dinyatakan bahwa radikal OH- memiliki peranan paling penting pada

kerusakan DNA. Radikal ini terbentuk di lapisan hidrasi di sekitar molekul DNA

yang bertanggung jawab atas 90% kerusakan DNA. Akibatnya, di sel hidup,

efek tidak langsung sangat penting. Secara umum, kematian mikroorganisme

adalah efek dari proses ionisasiyang merupakan hasil dari radiasi energi

tinggi. Diperkirakan bahwa iradiasi sel hidup pada satu gray menginduksi

1000 single strand, 40 double strand, 150 cross-link antara DNA dan protein

dan 250 oksidasi thymin (Aquino, 2012). Mekanisme efek iradiasi secara tidak

langsung dapat dilihat pada Gambar 2.6

Page 12: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

15

Gambar 2.7. Mekanisme kerusakan DNA oleh efek tidak langsung Iradiasi

Sumber: http://www.seguridadypromociondelasalud.com (2014)

2.3.2 Jenis Iradiasi Pangan

Jenis iradiasi yang digunakan untuk mengawetkan bahan pangan yaitu radiasi

elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang dibawah 10 nm (Dwiloka,

2002). Foton yang dihasilkan harus memiliki energi yang tinggi sehingga dapat

menyebabkan ionisasi dan eksitasi pada bahan yang dilaluinya (Dwiloka, 2002).

Proses iradiasi pangan syarat penting yang harus diperhatikan adalah radiasi yang

digunakan tidak boleh menyebabkan terbentuknya senyawa radioaktif pada bahan

pangan. Berdasarkan penelitian FAO dan IAEA (Badan Tenaga Atom

Internasional) menetapkan bahwa sumber energi maksimum yang boleh

diaplikasikan untuk pengawetan bahan pangan adalah sebesar 10 meV (Dwiloka,

2002).

Sinar gamma merupakan sebuah energi dari radiasi elektomagnetik tinggi

yang diproduksi oleh transisi energi karena percepatan elektron atau radioaktifitas

atau proses nuklir atau subatomik yang lainnya seperti penghancuran elektron-

positronref (Ikmail, 2008). Gelombang elektromagnetik sinar gamma bergerak

dengan kecepatan tinggi, hampir menyertai kecepatan cahaya (Ikmail, 2008) .

Arahnya tidak dipengaruhi medan magnet, tidak memiliki muatan, jarak lintasan

relatif panjang dan mempunyai daya ionisasi kecil serta daya tembus yang tinggi

(Ikmail, 2008).

Page 13: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

16

Sinar Gamma yang umum digunakan untuk pegawetan bahan pangan adalah

Cobalt-60 (Co-60) dan Cesium-137 (Cs-137). Energi foton yang dimiliki Co-60

sebesar 1,17 dan 1,33 MeV, sedangkan energi foton yang dimiliki Cs-137 sebesar

0,66 MeV. Co-60 memiliki aktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan Cs-137,

sedangkan Cs-137 memiliki masa pakai yang lebih lama dibandingkan dengan Co-

60 (Ramaswamy, 2015).

2.3.3 Sumber Iradiasi

Umumnya jenis radiasi pengion yang digunakan untuk iradiasi produk

komersial antara lain iradiasi dari sinar Gamma, berkas elektron, dan sinar X

dimana ketiga sinar ini telah disahkan oleh Codex Alimentarius Commission

Irradiated foods Rev. 1-2003 sebagai standar nasional yang dapat digunakan

dalam aplikasi iradiasi pangan (Dwiloka, 2002). Menurut Riganakos (2010), energi

yang dihasilkan oleh ketiga jenis iradiasi ini cukup tinggi untuk melepaskan

elektron dari atom serta molekul, lalu mengubahnya menjadi partikel bermuatan

atau ion.

Iradiasi dengan sinar Gamma menggunakan Co-60 atau Ce-137 sebagai

sumber energi yang memiliki kemampuan penetrasi yang tinggi yaitu sekitar 25-

50 cm produk solid (Kunstadt, 1990). Menurut GMA (2009), kedua substansi ini

tidak membuat sekelilingnya menjadi radioaktif karena tidak melepaskan elektron.

Co-60 yang paling sering digunakan diproduksi melalui proses iradiasi Co-59 yang

kemudian ditembak dengan neutron sehingga dihasilkan Co-60 yang bersifat

radioaktif dan tidak stabil. Substansi ini akan meluruh secara terus-menerus dan

menghasilkan Ni-60 yang tidak bersifat radioaktif dan stabil (Aquino, 2012).

Iradiasi dengan berkas elektron paling mudah digunakan dan memiliki energi

yang cukup tinggi (Lung et al., 2015). Berkas elektron tampak lebih mengungguli

sinar Gamma karena sumber energi dapat dihentikan kapan saja, energi non-nuklir

yang dapat mempercepat radiasi saat dibutuhkan, resiko kecelakaan kerja yang

lebih kecil, dan aplikatif untuk iradiasi dengan dosis tinggi (Lung et al., 2015).

Namun, dibutuhkan energi yang tinggi dalam pengoperasiannya sehingga sangat

mahal, selain itu daya tembus berkas elektron masih berada dibawah sinar

Gamma, sehingga bahan pangan yang akan diiradiasi tidak boleh terlalu tebal

(Dwiloka, 2002). Sinar X mempunyai energi dengan jumlah dibawah sinar Gamma

(Dwiloka, 2002). Daya tembus sinar ini cukup kuat sehingga dibutuhkan pengaman

Page 14: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

17

seperti pelindung sumber yang tebal (Mollins, 2001). Iradiasi dengan sinar X dinilai

aman karena tidak memicu terbentuknya zat-zat radioaktif (Mollins, 2001).

2.3.4 Dosis Iradiasi

Dosis iradiasi akan menentukan tingkat dan jenis perubahan yang terjadi pada

materi bahan akibat iradiasi (Dwiloka, 2002). Dosis iradiasi adalah jumlah energi

yang diserap oleh bahan ketika area pada bahan diberi paparan iradiasi (Dwiloka,

2002). Satuan internasional dalam dosis iradiasi adalah Gray (Gy), dimana 1 Gy

merupakan energi sebesar 1 kJ/kg bahan yang diradiasi dan 1 Gy setara dengan

100 Rad (Ragheb, 2016). Jumlah radiasi yang diberikan bergantung pada

intensitas dari sumber radiasi dan lama pemaparan (Ramaswamy, 2015). Dosis

maksimum yang dapat digunakan untuk mengurangi mikroorganisme patogen

pada ikan, seafood, dan produk olahannya adalah 5,0 kGy (Noomhorm et al.,

2013). Dengan menggunakan dosis radiasi dibawah 5,0 kGy, tekstur ikan dan sifat

organoleptiknya akan terjaga. Iradiasi sebesar 5 kGy telah dapat merusak tekstur

daging ikan (Noomhorm et al., 2013).

Pengukuran dosis dilakukan dengan menggunakan suatu sistem dosimetri

(Andang, 2010). Dosimetri merupakan metode pengukuran dosis serap (absorbsi)

radiasi terhadap produk dengan teknik pengukuran yang didasarkan pada

pengukuran ionisasi yang disebabkan oleh radiasi menggunakan dosimetri

(Andang, 2010). Salah satu caranya yaitu dengan dosimeter kimia, yaitu

pengukuran dosis yang didasarkan pada perubahan kimia yang terjadi akibat dari

penyerapan energi radiasi (Andang, 2010). Untuk tujuan pengawetan pada bahan

pangan digunakan sistem dosimeter Fricke (ferro-ferri) dengan harga G antara

15,5 – 15,6. Harga G adalah banyaknya molekul medium yang berubah ke bentuk

lain tiap eV energi radiasi yang terserap (Razzak et al., 1980 dalam Pradana,

2013). Penentuan jumlah ion ferro yang teroksidasi menjadi ion ferri dapat

dilakukan dengan spektrofotometer. Sedangkan perbandingan antara dosis

iradiasi maksimal (Dmaks) dengan dosis iradiasi minimal (Dmin) dinyatakan sebagai

keseragaman dosis. Keseragaman dosis umumnya dipertahankan sekitar 1,2 –

1,5. Dosis iradiasi yang diserap oleh bahan dapat dihitung menggunakan rumus

sebagai berikut (Razzak et al., 1980 dalam Pradana, 2013):

D = A x 60.763725 𝑥 106

𝐸25 (1+0.006 (𝑡−25) x 10-2 Gy (Gray)

Dimana,

Page 15: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

18

D = Dosis total iradiasi yang terserap (Gray)

A = Absorban atau rapat optik larutan dosimeter pada

panjang gelombang 305 nm

T = Suhu pada saat pengukuran dengan spektrofotometer (oC)

E25= Koefisien ekstinski polar larutan dosimeter pada

suhu 25oC, yaitu 2120 1.mol-1.cm-1

60.763725 x 106 = Tetapan berdasarkan perhitungan harga GFe3+ sebesar 15.5

Menurut Roberts (2014) dalam penerapannya radiasi ionisasi dikategorikan

menjadi 3 dosis yang dapat dilihat pada Tabel 2.2. Penggunaan dosis iradiasi

dengan tujuan pengawetan bahan pangan serta bahan pangan yang telah

disetujui untuk iradiasi oleh Peraturan Menteri Kesehatan No. 701 (2009) di

Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.2 Kategori Dosis dan Penerapannya pada Bahan Pangan

Skala Dosis (kGy)

Dampak Penerapan pada Bahan Pangan

0,1 – 1 Menghambat pertunasan Menunda kematangan Disinfektasi serangga

Kentang, bawang merah, bawang putih Pisang Produk segar, dried food

1 – 10

Inaktivasi parasit Mengurangi organisme pembusuk (memperpanjang daya simpan) Mengurangi patogen non-spora

Daging babi Strawberi, jamur, ikan yang dikeringkan Daging, kerang, rempah

>10

Mengurangi patogen (sterilisasi)

Rempah, makanan untuk pasien rumah sakit dan bencana alam

Sumber: Roberts (2014)

Page 16: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

19

Tabel 2.3 Bahan Pangan yang disetujui untuk diiradiasi di Indonesia

No Jenis Pangan Tujuan Iradiasi Dosis serap maksimum

(kGy)

1 Umbi lapis dan umbi bakar Menghambat pertunasan selama penyimpanan

0,15

2 Sayur dan buah segar (selain yang termasuk kelompok satu) dam

a. Menunda pematangan b. Membasmi serangga c. Memperpanjang masa simpan d. Perlakuan karantina

1,0 1,0 2,5 1,0

3 Produk olahan sayur dan

buah Memperpanjang masa simpan 7,0

4 Mangga Memperpanjang masa simpan 0,75

5 Manggis a. Membasmi serangga b. perlakuan karantina

1,0 1,0

6 Serelia dan produk hasil

penggilingannnya, kacang-kacang, biji bijian penghasil minyak, polong-polong, buah kering

a. membasmi serangga b. mengurangi jumlah mikroba

1,0 5,0

7 Ikan, pangan laut (seafood segar maupun seafood)

a. Mengurangi jumlah mikroorganisme patogen tertentu

b. Memperpanjang masa simpan c. Mengontrol infeksi oleh parasit

tertentu

5,0

3,0

2,0

8 Produk olahan ikan, pangan laut

a.Mengurangi jumlah mikroorganisme patogen

b.memperpanjang masa simpan

8,0

10

9 Daging dan unggas serta hasil olahannya (segar maupun beku)

a. mengurangi jumlah mikroorganisme patogen tertentu

b. memperpanjang masa simpan c. mengontrol infeksi oleh parasit

tertentu d. menghilangkan bakteri

salmonella

7,0

3,0

2,0

7,0

10 Sayuran kering, bumbu, rempah, rempah kering (dry herbs) dan herbal tea

a. mengurangi jumlah mikroorganisme patogen tertentu

b. membasmi serangga

1,0

5,0 11 Pangan yang berasal dari

hewan yang dikeringkan a. membasmi serangga b. membasmi mikroba, kapang

dan khamir

1,0 5,0

12 Pangan olahan siap saji berbasis hewani

Sterilisasi dan membasmi mikroba patogen termasuk mikroba berspora serta memperpanjang umur simpan

65

Sumber: MENKES (2009)

Page 17: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

20

2.4 Keamanan Pangan Iradiasi

Aspek keamanan pangan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan

sebelum melakukan iradiasi terhadap suatu bahan pangan. FAO/ WHO/ IAEA

telah menetapkan bahwa pengawetan bahan pangan dengan menggunakan

teknologi iradiasi batas maksimum energi radiasi yang dapat dipakai yaitu 5 MeV

untuk sinar radiasi gamma dan sinar x. Sedangkan untuk berkas sinar elektron

sebesar 10 MeV (Hvizdzak et al., 2010).

Menurut BPOM (2013) yang memiliki kiblat dari Codex Alimentarius

Commission menyatakan bahwa iradiasi pangan dengan dosis rata-rata sampai

dengan 10 kGy tidak menimbulkan bahaya toksisitas dan tidak memerlukan

pengujian lebih lanjut. Berdasarkan BPOM (2006) studi keamanan pangan iradiasi

juga dilakukan di berbagai negara baik terhadap hewan percobaan maupun studi

klinis pada manusia. Dari hasil studi yang dilakukan menunjukkan bahwa :

Iradiasi tidak menyebabkan pangan menjadi radioaktif. Proses iradiasi

terjadi dengan melewatkan pangan dengan suatu sumber radiasi dengan

kecepatan dan dosis yang terkontrol dan pangan tersebut tidak pernah

kontak langsung dengan sumber radiasi. Ketika perlakuan iradiasi

dihentikan, tidak ada energi yang tersisa dalam pangan.

Iradiasi tidak menyebabkan pangan menjadi toksik. Semenjak tahun 1940-

an pangan iradiasi selalu diteliti dengan seksama terkait dengan

toksisitasnya sebelum proses iradiasi diterapkan terhadap suatu pangan.

Konsumsi pangan iradiasi tidak menyebabkan terjadinya perkembangan

kromosom tidak normal.

Perubahan kimia yang terjadi pada pangan iradiasi seperti pembentukan

produk radiolitik, adalah produk yang juga terbentuk karena proses

pemanasan seperti glukosa asam format, asetaldehida dan

karbondioksida. Keamanan produk radiolitik ini telah diuji secara seksama

dan tidak ditemukan bahaya yang ditimbulkannya.

Iradiasi tidak menimbulkan terjadinya pembentukan radikal bebas. Radikal

bebas juga terbentuk selama proses pengolahan pangan lain seperti

pemanggangan roti, penggorengan, pengeringan beku dan lain-lain.

Page 18: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

21

2.4.1 Aspek Kimia

Radiasi pengion selalu menimbulkan perubahan pada bahan secara kimiawi.

Namun, perubahan kimia yang disebabkan oleh iradiasi lebih sedikit daripada

perubahan akibat pengolahan dengan menggunakan energi panas, hal ini

disebabkan karena energi yang diserap oleh bahan pangan melalui iradiasi lebih

sedikit dibandingkan pemanasan (Tomlins, 2008). Semakin tinggi dosis iradiasi

yang diberikan terhadap bahan maka akan meningkatkan jumlah senyawa kimia

yang terbentuk (Tomlins, 2008) . Perubahan kimia ini dapat dikontrol dengan

mengatur kadar air bahan dan suhu, serta menghilangkan oksigen di udara

sekeliling bahan yang diiradiasi (Maha, 1982 dalam Pradana, 2013).

Berdasarkan hasil analisa kimia yang dilakukan menunjukkan bahwa senyawa

kimia yang terbentuk sebagai akibat dari radiolisis dalam bahan pangan sangat

sedikit. Pada dosis sterilisasi jumlah senyawa kimia yang terbentuk hanya

beberapa ppm (mg/kg). Pada konsentrasi yang sangat rendah, senyawa yang

berbahaya belum akan menimbulkan pengaruh apapun, karena senyawa

berbahaya tidak hanya ditentukan oleh jenis namun juga jumlah (Maha, 1988).

Hasil penelitian terdahulu belum menemukan senyawa spesifik yang terbentuk

akibat radiolisis pada bahan pangan iradiasi yang dapat menimbulkan gangguan

kesehatan.

2.4.2 Aspek Gizi

Radiasi dapat menimbulkan perubahan kimia pada bahan pangan, maka

timbul kekhawatiran bahwa iradiasi dapat mempengaruhi nilai gizi dari bahan

tersebut. Hasil penelitian bahwa hilangnya zat gizi pada makanan yang didiradiasi

sampai dosis 1-5 kGy tidak nyata (Brewer,2009). Iradiasi bahan pangan pada

dosis sedang (1-10 kGy) dapat menurunkan beberapa unsur mikro nutrisinya

apabila udara dan suhu serta kondisi selama proses tidak diatur dengan baik

(Brewer, 2009). Perlakuan kombinasi antar pengaturan kondisi iraidasi (dosis,

suhu, oksigen) dan teknik pengemasan dapat mempertahankan mutu, nutrisi pada

bahan pangan olahan siap saji (Dwiloka, 2002).

Page 19: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

22

2.4.3 Aspek Toksikologi

Sekalipun bahaya pangan iradiasi dari aspek kimia tidak ditemukan adanya

senyawa yang dapat membahayakan kesehatan, tetapi tetap diperlukan adanya

uji toksikologi. Uji toksikologi pada bahan pangan iradiasi dapat dilakukan terhadap

hewan percobaan bahkan uji klinis pada manusia sukarelawan untuk membuktikan

keamanannya (Maha, 1988 dalam Pradana, 2013). Hingga tahun 1979 tercatat

bahwa lebih dari 1200 penelitian dilakukan untuk menguji aspek keamanan

pangan iradiasi (Diehl, 1983 dalam Pradana, 2013). Pemberian pangan iradiasi

pada hewan yang mencakup tentang usia hidup untuk menjelaskan jika terdapat

perubahan pada pertumbuhan, komponen darah, maupun sistem reproduksi

(Liberty et al., 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh

yang merugikan pada hewan uji yang diberi pakan berupa bahan pangan iradiasi

(Aravindikshan et al,. dan Griese dikutip Sofyan,1984). JECFI (Joint Expert

Committee on Food Irradiation) pada November 1980 menyatakan bahwa semua

bahan pangan yang diiradiasi sampai dosis 10 kGy masih aman untuk dikonsumsi.

Beberapa makanan hewan yang telah disterilisasi menggunakan dosis 25-50 kGy

juga tidak menunjukkan adanya mutagenik, teratogenik, serta oncogenik pada

hewan uji (Liberty et al., 2013).

2.5 Nilai D10

Nilai D10 adalah angka yang menunjukkan tingkat sensitivitas bakteri terhadap

paparan iradiasi. Nilai D10 menunjukkan dosis iradiasi yang dibutuhkan untuk

menurunkan 1 log jumlah mikroba dan membunuh 90% dari jumlah total tersebut.

Semakin tinggi nilai D10 maka ketahanan bakteri terhadap iradiasi akan semakin

tinggi (Andini dan Harsojo, 2010).

Darwis (2006) menyatakan untuk mengukur D10 apabila kurva dosis - survival

adalah linier, maka nilai D10 dapat dengan mudah dibaca dari kurva dan

dinyatakan dalam unit dosis radiasi seperti gambar 2.8b. Kurva ini juga

menggambarkan resistensi dari mikroorganisme terhadap sterilisasi radiasi. Jika

kurvanya diawali dengan bentuk bahu (shoulder) nilai D10 dapat diperoleh dari

bagian kurva yang bergaris lurus (bagian eksponensial) seperti gambar 2.8a. D10

dapat diperoleh dari gradien garis lurus kurva inaktivasi atau dapat dihitung

dengan persamaan berikut:

Page 20: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

23

Nilai D10 = D [log No-log N]

Dengan:

D = Dosis radiasi

No = Jumlah mikroorganisme awal

N = Jumlah mikroorganisme yang survive pada dosis radiasi D

Untuk kurva respon berbentuk konkav, yang terbaik adalah dengan mengambil

dosis inaktivasi. sebagai contoh dosis untuk menginaktivasikan 90% atau 99% dari

populasi sel awal yang hidup atau menggunakan Most Probable Effective Dose

(MPED) (Darwis, 2006). Bentuk dari kurva nilai D10 dapat pada Gambar 2.8.a.

Gambar 2.8a. Kurva D10 (Darwis, 2006) Gambar 2.8b. Kurva D10 (Aquino, 2010)

Menurut Lazarine (2008) Jenis bakteri dapat mempengaruhi sensitivitas

bakteri terhadap paparan radiasi, dimana bakteri Gram positif lebih tahan

dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Pada jamur, jumlah sel dalam spora

serta jumlah nukleus tiap sel mempengaruhi tingkat sensitivitasnya. Sementara

menurut Aquino (2012) ada banyak faktor yang mempengaruhi resistensi

mikroorganisme terhadap radiasi pengion, sehingga akan mempengaruhi bentuk

kurva. Faktor yang paling penting adalah:

a. Ukuran dan susunan struktur DNA di dalam sel mikroba;

b. Senyawa yang terkait dengan DNA di dalam sel, seperti peptida dasar,

nukleoprotein, RNA, lipid, lipoprotein dan ion logam. Pada berbagai jenis

mikroorganisme, zat ini dapat mempengaruhi efek tidak langsung dari

radiasi secara berbeda;

Page 21: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

24

c. Oksigen: Adanya oksigen selama proses iradiasi meningkatkan efek

mematikan pada mikroorganisme. Dalam kondisi anaerobik yang

sempurna, nilai D10 dari beberapa bakteri vegetatif meningkat dengan

faktor 2,5-4,7, jika dibandingkan dengan kondisi aerob;

d. Kandungan air: Mikroorganisme paling tahan bila diiradiasi dalam kondisi

kering. Hal ini disebabkan oleh rendahnya atah bahkan tidak adanya

radikal bebas yang terbentuk dari molekul air oleh radiasi, dan dengan

demikian tingkat efek tidak langsung pada DNA rendah atau tidak ada;

e. Suhu: Perlakuan pada suhu tinggi, umumnya di kisaran sub-lateral di atas

45°C, secara sinergis meningkatkan efek bakterisasi dari radiasi pengion

pada sel vegetatif. Mikroorganisme vegetatif jauh lebih tahan terhadap

radiasi pada suhu sub-beku daripada pada suhu kamar. Hal ini disebabkan

oleh penurunan aktivitas air pada suhu sub-beku. Dalam keadaan beku

difusi radikal bahkan sangat terbatas;

f. Media : Komposisi media pada mikroorganisme berperan penting dalam

efek mikrobiologis. Nilai D10 untuk mikroorganisme tertentu dapat berbeda

jauh pada media yang berbeda;

g. Kondisi pasca iradiasi: Mikroorganisme yang bertahan dalam perlakuan

iradiasi mungkin akan lebih sensitif terhadap kondisi lingkungan (suhu, pH,

nutrisi, inhibitor, dll) daripada sel yang tidak diiradiasi.

2.6 Penyimpanan Suhu Dingin

Penyimpanan dingin adalah salah satu teknologi pengawetan bahan pangan

yang sering dilakukan. Aplikasi penyimpanan suhu dingin pada bahan pangan

akan menyebabkan bahan pangan kehilangan panas. Penurunan suhu akan lebih

cepat terjadi pada permukaan makanan dibandingkan dengan bagian dalamnya

(Sheen, 1990). Tujuan penyimpanan suhu dingin adalah untuk menghambat

pertumbuhan mikroba dan memperpanjang umur simpan suatu bahan pangan.

Selain itu, penyimpanan suhu dingin juga mampu menghambat aktivitas enzimatis,

respirasi bahan segar dan reaksi-reaksi kimia di dalam bahan pangan (Estiasih

dan Ahmadi, 2014). Faktor yang dapat mempengaruhi proses pendinginan

diantaranya adalah konduktivitas termal, kalor jenis, ketebalan, massa jenis, dan

luas permukaan produk pangan serta selisih suhu antara produk dengan medium

Page 22: 2.1 Ikan Gabus ( Channa striatarepository.ub.ac.id/1372/3/3. BAB II.pdf · Esherichia, Shigella, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Alcaligenes, dan lain-lain). (Brooks dkk, 2005)

25

pendinginan (Hagan, 2011). Selama penyimpanan dingin akan terjadi penurunan

aktivitas air pada bahan yang mengakibatkan mikroba tidak dapat tumbuh secara

optimal. Bakteri patogen tidak dapat tumbuh pada suhu dibawah 5˚C, begitu pula

dengan sel vegetatif, kapang, khamir, dan bakteri Gram Negatif akan hancur pada

suhu rendah. Namun spora kapang dan bakteri Gram Positif tidak terpengaruh

oleh suhu rendah (Lazarine, 2008).